SEJARAH PRAMUKA PADA MASA PENGGALANG


1.    Semangat Persatuan
    Sumpah pemuda merupakan penggerak pemuda untuk berjuang memperoleh kemerdekaan, terutama bagi organnisasi-organisasi kepanduan nasional Indonesia. Setelah berdirinya Persaudaraan Antara Pandu-Pandu Indonesia (PAPI) pada tahun 1928, setahun kemudian organisasi ini mengadakan pertemuan di Jakarta tepatnya pada tanggal 15 Desember 1929. Dalam pertemuan tersebut Pandu Kebangsaan (PK) menginginkan adanya peleburan semua organisasi kepanduan indonesia menjadu satu organisasi kepanduan Indonesia.Akan tetapi tidak ada kata sepakat yang bulat dari kepanduan yang berbeda asasnya. Maka dari itu diambil jalan tengah diantaranya, membentuk dua panitia dengan tugas mempelajari penyelenggarakan dan rencana pelaksanaan bagi kepanduan yang berdasarkan pada asasny kebangsaan semata-mata, dan yang lainnya mengutamakan dasar-dasar agama.
2.    Berdirinya Kepanduan Bangsa Indonesia
      Sambil menunggu hasil dari dua panitia yang diselenggarakan PAPI, maka wakil PK,PPS dan INPO bersepakat akan melaksanakan cita-citanya semula. Maka pada tanggal 13 September 1930 berdirilah Kapanduan baru di Jakarta yang bernama “Kepanduan Bangsa Indonesia” atau KBI.
Perintis dari organisasi KBI diantaranya:
1.        Dr. Moewardi, Soeratno dan Soegandi dari JJP/PK
2.       Soewardjo Tirtosoepeno, dr. Soepardan dan Pentor dari INPO
3.       Prof. Dr. Bahder Djohan, dr. Nazir dan dr Sjagaf Yahya dari PPS.
KBI berasaskan kebangsaan, tidak berhaluan politik dan tidak menjadi bagian dari suatu partai, tetapi tidak melarang pandu-pandunya yang telah berusia 18 tahun ikut pergerakan politik.
Tujuan dari KBI diantaranya sebagai berikut ;
1.      Ikut serta mendidik putra dan putri Indonesia, supaya menjadi warganegara yang sehat, bahagia dan berguna untuk nusa dan bangsa.
2.     Mempersatukan kepanduan yang berasaskan kebangsaan dan bersama-sama dengan organisasi kepanduan lain mengurangi rasa provinsialisme/kedaerahan.
3.     Meluaskan rasa kebangsaan dan cinta tanah air sampai seluruh pelosok wilayah Indonesia, serta memberi dasar perjuangan kemerdekaan dari bangsa Indonesia.
4.     Menghasilkan tenaga yang sanggup memikul kewajiban yang berat untuk kepentingan bangsa dan tanah air sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Pengurus besar KBI diantaranya:
Soewardjo Tirtosoepono                     : Ketua
Soeratno sastroamidjojo                     : Wakil Ketua I
Bahder Djohan (Prof. Dr.)                   : Wakil Ketua II
Soegandhi Pringgoatmodjo                 : Penulis umum
Mr. Koentjoro Poerbopranoto             : Penulis II
Soeharmen Kartoredjo                        : Bendahara
Pembantu : Patah, Mr. Hendromartono dan Koestio.
Kwartir besar KBI terdiri dari :
Komisaris Besar                     : dr. Moewardi
Ajun Komisaris Besar            : Soenardjo Atmodipoerwo
Penulis                                    : Soeardiman
Komisaris Penuntun               : Soerip Sumowidagdo
Komisaris Pandu                    : Abdoel Aziz Saleh (dr.)
Komisaris Pandu muda           : Santo (dr.)
Komisaris Golongan Putri     : Ny. Sutarman dibantu Ny. Soeratmi Saleh, Soenarti dan  Prabandari
Pembantu untuk kursus Pemimpin         : Mr. Santoso
KBI mulai bergerak setelah mengadakan kongres yang pertama di Ambarwinangun Yogyakarta pada akhir desember 1930. Kongres di Ambarwinangun itu juga terkenal sebagai Jambore nasional Indonesia pertama, yang dikunjungi oleh 2/3 jumlah seluruh cabang yang semuanya ada 57 buah tersebar di Jawa, Madura dan Sumatera. Pembicaraan dalam kongres itu, dititikberatkan pada perumusan peraturan-peraturan yang sudah ada berasal dari ketiga kepanduan yang telah menjadi satu untuk dipakai pedomen kerja KBI sampai ada ketetapan dari kongres yang akan datang. Menjelang berakhirnya jambore, tiba-tiba di daerah Muntilan, Magelang ditimpa bencana alam yaitu dengan meletusnya gunu g merapi. Pandu-pandu KBI yang sedang melaksanakan jambore ikut membantu para korban bencana merapi.
                Pada bulan juni 1931, KBI melaksanakan pertemuan pemimpin ke-1 di Purworejo yang terdiri dari 3 kepanduan kebangsaan yang sampai sekarang belum berubah-ubah.
Putusan dalam pertemuan pemimpin ke-1 diantaranya:
a.     Menetapkan warna “Merah Putih” sebagai warna setangan leher dan bendera KBI sesuai dengan asasi kebangsaan.
b.     Mengesahkan nyanyian KBI yang diciptakan WR. Supratman sebagai nyanyian resmi KBI.
Pada tahun 1932 KBI mengadakan Jambore nasional kedua di Banyak dekat Malang, yang dipimpin oleh Komisaris besar Moewardi dengan lancar menurut rencana. Selain perkemahan, juga diadakan pertemuan pemimpin untuk merundingkan soal-soal organisasi dan kepemimpinan teknis kepanduan. Hasil pertemuan ini menunjukan langkah KBI ke arah konsolidasi ke dalam dan ke luar. Jambore Nasional dilangsungkan pada tanggal 19-21 Juli 1932 dikunjungi oleh wakil-wakil dari 69 cabang KBI.
Jambore nasional ke-3 diadakan di solo pada tanggal 20-24 Juni 1933. Dalam pertemuan pimpinan yang dilangsungkan selama itu diambil keputusan untuk mencetak buku-buku anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Petunjuk permainan, Peraturan mendirikan Cabang dan sebagainya. Selain itu juga disetujui pembentukan kwartir daerah di bawah pimpinan Komisaris Daerah, untuk memperlancar jalannya pimpinan dari pusat. Alam pertemuan ini ditetapkan  Sdr. Soeratno Satroamidjojo menjadi ketua pengurus besar menggantikan Sdr. Soewardjo Tirtosoepeno yang sejak pertengahan tahun 1932 pindah ke Cilacap. Tidak lam kemudian Sdr. Moewardi berhubung dengan kesibukan belajar tidak dapat terus memegang pimpinan Kwartir Besar, diganti oleh Sdr. Abdoelrachman dari Bandung, sehingga kedudukan Kwartir Besar juga ikut pindah ke Bandung.
Tahun 1934 KBI mulai menyelenggarakan Jambore Daerah, yang hampir bersamaan waktunya di Kali Urang, Jawa Tengah, Gresik, Jawa Timur dan Sukabumi, Jawa Barat dipimpin oleh komisaris Daerah masing-masing yaitu Sdr. Hertog, Sdr. Moersito dan Sdr. Dadi Tjokrodipo. Jambore daerah menarik perhatian masyarakat, terbukti antara lain di Jawa Timur, Dr. Soetomo, Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. Mais dan lain-lain ikut berjambore dan merasakan bersama para pandu suka-dukanya hidup dalam perkemahan.
Tahun 1935 KBI mengadakan Perkemahan Sabtu-Minggu (Persami) di Pasar Minggu Jakarta, Para pengurus Besar dan Kwartir Besar KBI melahirkan suatu cita-cita NIPV, atau organisasi yang tidak berlindung di bawah panji-panji NIPV.
1.              Perkembangan Gerakan Kepanduan Indonesia
Pada akhir tahun 1928 hingga akhir tahun 1935 selain berdirinya KBI, gerakan kepanduan Indonesia diperkuat lahirnya organisasi-organisasi kepanduan baik yang berdasr pada asas kebangsaan maupun yang mengutamakan dasar-dasar agama.
Kepanduan yang berasaskan kebangsaan :
-   Pandu Indonesia (PI) di Bandung
-   Padvinderss Organisatie Pasundan (POP) di Bandung.
-   Pandu Kesultanan (PK) di Yogyakarta
-   Sinar Pandu Kita di Solo
-   Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI) di Malang
Kepanduan yang mengutamakan dasar agama Islam :
-   Pandu Ansor (Bagian Kepanduan dari Nachdatul Ulama) di Surabaya.
-   Al Wathoni, Hizbul Islam dan Kepanduan Islam Indonesia (KII) di Solo.
-   Islamitische Padvinders Organisatie (IPO) di Jakarta.
Kepanduan golongan agama Kristen dan Katholik :
-   Tri Darma (Kristen) di Yogyakarta.
-   Kepanduan azaz Katholik (KAKI) di Yogyakarta.
-   Kepanduan Masehi Indonesia (KMI) di Jakarta.
             Pandu Indonesia (PI) adalah pecahan JIPO, dibentuk dan dipimpin oleh Soediani dan Soemardjo di Bandung setelah NPO dan JIPO bergabung menjadi INPO pada tahun 1928. Pandu Indonesia, Padvinders Organisatie Pasoendan, Pandu Kesultanan dan Islamitische Padvinders Organisatie bergabung dalam  “ Padvinders Bond “ (PVB), berlindung dibawah NIPV.
2.    Peristiwa Kedatangan Baden Powell dan Jambore Dunia
      Suatu peristiwa yang tidak mudah dilupakan adalah kedatangan Lord Baden Powell of Gilwell dan Lady Baden Powell di Indonesia, pada Tanggal 3 Desember 1934, dalam rangka kunjungan keliling ke beberapa negara, waktu kembali dari Jambore di Australia. Baden Powell melihat keadan dan perkembangan organisasi kepanduan di Indonesia, yang biarpun pada waktu itu dijajah Belanda, namun perkumpulan kepanduannya berkembang sangat pesat dan menggembirakan.
      Penerimaan dan acara kunjungan Baden Powell itu diatur sendiri oleh NIPV. Pandu-pandu Indonesia hendak ikut serta menyambut kedatangan Baden Powell, tetapi tidak diperkenankan oleh pimpinan NIPV. Hal ini mengakibatkan bertambah besarnya ketegangan hubungan kepanduan nasional Indonesia dengan NIPV.
      Peristiwa lain yang tidak akan dilupakan oleh yang mengikutinya adalah jambore Dunia V yang diadakan di Vogelanzang, Belanda pada tahun 1937. Pada Tahun itu “Padvinders Bond” (PVB) mencapai puncak kejayaannya, karena untuk pertama kalinya berhasil mengirimkan kontingen dari Indonesia (Nederlands Indie) Ke Jambore Dunia sebanyak 70 orang, terdiri dari :
-   Satu pasukan pandu Indonesia                                = 27 orang
-   Satu pasukan pandu Tionghoa                 = 14 orang
-   Satu pasukan padvinders Belanda           = 29 orang
Pandu putra Indonesia yang ikut serta adalah :
-        Soedani dn Soemardjo (Pimpinan Pandu Indonesia)
-        Kusno Utomo (sekarang Andalan Nasional Gerakan Pramuka)
-        Soewarma (sekarang Ketua umum Pandu dan Pramuka Wreda)
-        Hadi Tayeb, Soekondo, Ranadi, Jasrin dan Pandu Indonesia lainnya yang bergabung dalam PVB/NIPV.
Soedani dan Soemardjo dapat tugas untuk mengikuti kursus Gilwell di Chingford, London dan untuk mempelajari tempat latihan Negeri Belanda dan Swiss. Soedani yang bertindak sebagai komisaris dalam Hoofd Kwartier NIPV, ditunjuk untuk ikut mewakili negaranya dalam international Scouts Conference ke 9 di Den Haag, Negeri Belanda.
Pengetahuan dan pengalaman pandu-pandu Indonesia kelak akan bermanfaat bagi perkembangan kepanduan di Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan organisasi kepanduan di luar negeri dan penyelenggaraan kegiatan kepanduan yang bersifat internasional atau regional.
3.    Rasa persatuan meluas
Berkat keteguhan hati para pemimpin kepanduan Indonesia, maka segala usaha pihak Belanda untuk mematikan atau membelokan arah tujuan Kepanduan Indonesia, tidak berhasil. Sebaliknya perhatian masyarakat maskin tertarik kepada cara pendidikan kepanduan, ternyata dari sangat banyaknya organisasi kepanduan Indonesia yang tumbuh dari berbagai kalangan.
         Untuk melanjutkan cita-cita persatuan yang telah dirintis oleh PAPI, maka atas prakarsa KBI pada akhir bulan april 1938 di solo, diadakan pertemuan bersama antara anggota-anggota PAPI dengan mengundang beberapa kwartir besar kepanduan lainnya, untuk menjelaskan dan mewujudkan cita-cita mengadakan “All Indonesian Jamboree”. Cita-cita tersebut dapat diterima oleh rapat dan diputuskan mendirikan suatu badan untuk mengurus penyelenggarakannya, yang dinamakan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesi, disingkat BPPKI dan berkedudukan di Solo.
Susunan pengurusnya terdiri dari wakil-wakil :
-        KBI sebagai ketua
-        KAKI sebagai penulis
-        NATIPIJ sebagai bendahara
-        SIAP sebagai pengurus bagian teknik
Dalam konferensi BPPKI di Bandung pada pertengahan tahun 1939 diputuskan untuk merubah “All Indonesian Jamboree” menjadi “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” disingkat Perkindo dengan alasan supaya nama itu sesuai dengan cita-cita kebangsaan. Penyelenggaraan Perkindo pertama direncanakan di Solo dalam bulan juli 1941, akan tetapi pelaksanaannya kemudian terpaksa ditangguhkan sampai tahun 1941 berhubung dengan gentingnya suasana internasional pada waktu itu.
Dalam konferensi BPPKI di Solo pada tanggal 11 Pebruari 1941 Perkindo I jadi diadakan , pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta. Cabang Mataram beserta BPKM (Badan Persaudaraan Kepanduan Mataram) ditunjuk sebagai tuan rumah dan panitia penyelenggaraannya diketua oleh Dr. Martohusodo. Pemerintah Kesultanan dan masyarakat Yogyakarta tidak kurang perhatiannya, dengan memberikan bantuan baik berupa moril maupun materiil, sehingga Perkindo 1 berlangsung dengan sukses. Dalam konferensi BPPKI di Solo itu juga diputuskan membentuk Yayasan Perkindo (Perkindo Stichhting) untuk penyelenggaraan Perkindo II dan seterusnya sampai bulan Pebruari 1941 anggota BPPKI bertambah dengan masuknya : KII, Hizbullah Islam, Sinar Pandu Kita, Al Wathoni dan KAKI, sedang HW dan KMI tinggal menunggu putusannya.
Melihat perkembangan usaha dan kegiatan BPPKI tersebut di atas, maka jelas bahwa kepanduan pun tidak mau ketinggalan dengan gerakan pemuda lainnya dalam usaha mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Jadi tegasnya organisasi kepanduan yang banyak itu perlu disatukan dalam satu wadah, dengan adanya persatuan dan kesatuan kita dapat mengenyahkan kaum penjajah. Organisasi kepanduan kecil-kecil tetapi banyak itu kemudian diGALANG dalam satu wadah atau satu kesatuan. Kalau penggalangan ini telah berhasil, maka sulit dihancurkan atau dirobohkan oleh pihak-pihak yang tidak senang adanya persatuan dan Indonesia Merdeka.
MASA PENJAJAHAN JEPANG TAHUN 1942-1945
Pada permulaan bulan Maret 1942 balatentara Jepang dengan cepat dapat menaklukan Hindia Belanda dan mengusai seluruh wilayah Indonesia. Empat bulan kemudian pemerintah balatentara Jepang mengeluarkan larangan berdirinya segenap partai dan organisasi rakyat Indonesia termasuk gerakan kepanduan. Walaupun demikian diusahakan sekuat tenaga untuk mendirikan kembali organisasi Kepanduan.
Pada tanggal 6 Pebruari 1943 pandu-pandu dari macam-macam perkumpulan yang telah dibubarkan berhasil mengadakan Perkindo II di Jakarta, untuk menunjukan betapa besarnya arti kepanduan bagi masyarakat. Tetapi ternyata pemerintah militer Jepang sudah mempunyai rencana tertentu. Gerakan kepanduan Indonesia tidak boleh dilangsungkan dan sebagai gantinya anak-anak dan pemuda Indonesia dimasukan dalam gerakan “Seinendan”. Organisasi tersebut didirikan hanya untuk kepentingan Jepang sendiri, namun akhirnya dapat dimanfaatkan oleh para pemuda yang pernah aktif dalam kepanduan, kemiliteran dan organisasi pemuda lainnya untuk menggalang disiplin, ketrampilan militer demi persatuan dan patriotisme.
Tidak sedikit pula bekas pandu masuk menjadi “Peta”, kepolisian dan Heiho dan digembleng pula oleh Jepang dalam menggunakan senjata dengan penuh disiplin dan tanggung jawab.
Kekejaman Jepang yang dilampiaskan kepada rakyat Indonesia adalah “Romusha” atau kerja paksa dan perampasan kekayaan bangsa Indonesia, yang menjadi modal utama dalam memerdekakan bangsa dari setiap penjajahan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAFTARAN COPA PRAMUKA CHAMPIONS U-12 TH 2023

PETUNJUK PENYELENGGARAAN UPACARA DI DALAM GERAKAN PRAMUKA

PENDAFTARAN COPA PRAMUKA CHAMPIONS 2021